top of page
Search
  • Dr. Pribadi Widodo, M.Sn., HDII.

Antara Akademisi, Praktisi, dan Profesional


Profesi

Profesi dapat diartikan sebagai suatu sebutan yang identik dan melekat pada aktifitas kerja yang dilakukan oleh seseorang atas dasar kemampuannya (kompetensi), dimana kemampuan itu diperoleh melalui pendidikan formal yang panjang dan lama (akademik) sehingga diperoleh pengakuan akan kemampuannya itu dalam wujud gelar (Bachelor, Master) dan sertifikat (ijazah, diploma, dsb).

Profesi adalah sebutan yang luluh dengan bentuk kerja itu sendiri, yang tidak identik dengan bentuk kerja pada umumnya. Profesi bersifat esoteric, spesifik, dalam skala yang umum maupun lebih tajam. Ambil Contoh :

  • Seorang dokter melakukan praktek kerjanya, karena memiliki pendidikan kedokteran yang diperolehnya. Demikian pula halnya, seorang dokter spesialis melakukan praktek spesialisnya (jantung, ginjal, kandungan dsb), karena pendidikan spesialis yang diperolehnya. Seorang dokter spesialis Jantung tidak mungkin berpraktek untuk kelahiran anak yang menjadi kewenangan dokter kandungan (Ginekolog), kendati keduanya berkaitan dengan seorang manusia.

  • Seorang desainer interior melakukan praktek profesinya, karena memiliki pendidikan desain interior yang diperolehnya. Dalam kenyataan kerja desain interior, banyak terdapat elemen-elemen pelengkap ruang yang menjadi tanggung jawabnya, semisal art work (relief, mural, sculpture, dsb) atau directory, signage. Kendati Desainer Interior itu memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, namun seyogyanyalah pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh mereka-mereka yang memang profesinya pada bidang pekerjaan dimaksud, atas dasar pendidikan yang dimilikinya, ialah Seniman, Graphic Designer. Desainer Interior bekerja sebatas general concept, atau mengkoordinasikan berbagai profesi itu.

Jadi, profesi sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang melatarbelakangi pekerjaan yang dilakukannya. Dalam perkembangannya, semakin banyak jenis lapangan kerja yang bersifat umum dan semakin spesifik, sehingga dibutuhkan tenaga-tenaga ahli terdidik, yang juga bersifat semakin spesifik untuk menanganinya. Akibat dari itu, untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga profesi, bermunculanlah lembaga-lembaga pendidikan yang spesifik.

Pada bidang bangunan, terdapat keahlian arsitektur. Semakin kompleksnya permasalahan bidang arsitektur, terlahir kemudian pendidikan-pendidikan spesifik yang menunjangnya, seperti Desain Interior, Arsitektur Lansekap (Landscape Architecture), dan makin menukik lagi terdapat pendidikan-pendidikan seperti Furniture Design, Lighting Design, dsb. Sekali lagi, profesi berbanding lurus dengan pendidikannya. Bila pendidikannya A, maka berprofesilah sebagai A. Bila pendidikannya A, ingin berprofesi sebagai B, boleh-boleh saja, sepanjang yang bersangkutan memiliki pula pendidikan B.

Demikian banyak profesi-profesi yang ada itu, sehingga untuk menjernihkan agar tidak terjadi tumpang tindihnya keprofesian itu, diperlukan wadah bergabungnya profesi-profesi itu, yang bersifat sejenis, atau disebut sebagai Organisasi Profesi, seperti: IDI (Ikatan Dokter Indonesia), HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia), IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia), IALI (Ikatan Ahli Lansekap Indonesia), dan lain sebagainya.

Ir. Hartono Soesilo, arsitek senior Indonesia, dalam tulisannya menjelaskan bahwa Profesi berakar dari kata “Pro Fatheri“, pada awal-awal abad Masehi, yang berarti Pro = Kepada, Fatheri = Father = Tuhan. Maknanya adalah, bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan, harus baik dan benar, karena mengandung tanggung jawab pada Tuhan, dengan konsekuensi dosa, bila dilakukan secara asal-asalan. Konon keahlian seseorang, sebagai seorang penggali sumur misalnya, betul-betul diutarakan ditengah-tengah masyarakat dengan suara lantang, dan dengan janji-janji akan kemampuannya menggali sumur dengan benar. Intinya, suatu pekerjaan hendaknya dilakukan dengan keahlian khusus dan dengan benar, karena mengandung konsekuensi dosa, bila dilakukan dengan asal-asalan.

Dalam perkembangannya, kata Pro Fatheri mengalami transliterasi (pengalihan bahasa) menjadi Profesi (Inggris). Sikap takut terhadap dosa, bila salah dalam pekerjaannya, berubah menjadi sikap tanggung jawab pekerjaan yang baik dan benar untuk kebaikan masyarakat (Pro Bono Publico – Serge Sermayev), dalam tiga jenis tanggung jawab yang bermakna sama, ialah Akuntabilitas, Responsibilitas dan Liabilitas.

Profesional

Profesional, adalah kata benda abstrak, yang melekat pada seseorang yang melakukan profesinya dalam sikap tanggung jawab terhadap cara dan hasil pekerjaannya seperti tersebut pada halaman sebelumnya, ialah akuntabel, responsibel dan liabel.

Bilakah seseorang disebut Profesional? Diantaranya adalah apabila :

1. Pekerjaan yang dilakukan, berkesesuaian dengan kompetensi keahlian yang dimiliki atas dasar pendidikan spesifik yang diperolehnya. Sebuah Desain interior bangunan, hendaknya didesain oleh desainer interior, karena desainernya berpendidikan dan bersertifikat desain interior. Jadi tidak hanya sekedar bisa mengerjakannya, namun harus didukung oleh latar belakang pendidikannya.

I​tulah makna Profesional.

2. Memiliki sikap tanggung jawab tiga hal, terhadap hasil pekerjaannya.

  • Akuntabilitas, sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan ditilik dari sisi pembiayaan, rencana biaya pekerjaan yang disusun (estimate cost), berkesesuaian dengan anggaran biaya pasti (fixed cost, real cost) pekerjaan yang telah dikerjakan.

  • Responsibilitas, sikap tanggung, terhadap mutu hasil pekerjaan menyangkut kekuatan, ketahanan, keindahan, dsb.

  • Liabilitas, sikap tanggung jawab terhadap janji, terhadap dampak sosial kultural produk bagi masyarakat penggunanya. Itulah makna Profesional.​

3. Memiliki sertifikat untuk berprofesi dibidangnya (SKA, atau apapun namanya..)


4. Berada dalam wadah organisasi profesi, sesuai dengan profesi yang dijalani.

Seorang desainer interior seyogyanya menjadi anggota organisasi profesi Desain Interior (Himpunan Desainer Interior Indonesia – HDII), karena logikanya, untuk sertifikat profesinya (SKA), diterbitkan dan sepengetahuan organisasi profesinya, sehingga seseorang tidak mungkin memiliki SKA, apabila tidak menjadi anggota organisasi profesi.

Catatan:

Dalam perkembangannya, SKA diterbitkan oleh Lembaga lain, dimana pada lembaga tersebut terdapat penilai yang kompeten untuk menilai kebenaran pengajuan untuk mendapatkan sertifikat keahlian dimaksud. Perbandingan lurus antara keprofesian dengan latar belakang pendidikan yang berkesesuaian menjadi penting untuk diperhatikan.

Antara Akademisi, Praktisi, dan Profesional

Seorang desainer profesional, tentu tidak asing dengan istilah akademisi ini, karena dari lingkungan itulah desainer profesional itu bermula. Dalam pengamatan selama ini, seolah terdapat garis pembedaan antara akademisi dan profesional. Yang ada pada sisi dalam benteng kampus, lazim disebut akademisi dan yang bekerja diluar benteng kampus adalah profesional. (mungkin pengamatan itu salah... tapi anggap sajalah begitu).

Produk dari sistem pendidikan/pengajaran adalah kelulusan, yang pastinya dihadapkan pada dua pilihan kerja, sebagai wilayah pengabdiannya, ialah sebagai akademisi atau sebagai praktisi. Akademisi adalah sebutan bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam ikhwal keilmuan dan penelitian, dalam dunia pendidan/pengajaran, setelah ybs menyelesaikan pendidikannya. Wilayahnya adalah kampus.

Tugas seorang akademisi, adalah memberikan pendidikan pengajaran (dalam sistem yang fleksibel), menemukan kebaruan-kebaruan pengetahuan untuk menjadi ilmu, melalui tindak penelitian, sesuai bidangnya. Keduanya, mutlak dilakukan oleh seorang akademisi. Jadi, akademisi adalah profesi.

Praktisi adalah sebutan bagi seseorang yang mengabdikan dirinya, dengan mempraktekkan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya, dalam wilayah publik. Tugas seorang praktisi adalah memberikan pelayanan pada masyarakat dalam bentuk konkrit maupun abstrak, secara langsung, sesuai bidang keilmuannya. Jadi, praktisi adalah profesi.

Bagaimana akan halnya Profesional?

Profesional adalah sebutan bagi pelaku bentuk profesi apapun, yang dilakukan secara baik dan benar dan bertanggung jawab. Akademisi maupun Praktisi bisa berpredikat profesional. Keduanya Pro Bono Publico. Karena itu untuk memperoleh predikat profesional itu, salah satu persyaratannya adalah memiliki sertfikat kompetensinya. SKA (atau apapun namanya) bagi seorang praktisi, dan Sertifikat Pengajaran bagi seorang akademisi.

Beberapa pertanyaan sering terlontar..


Bolehkah seorang akademisi melakukan pekerjaan berdasarkan keahliannya di wilayah praktisi? Jawabannya bertumpu pada ikhwal “boleh” dan “benar”. “Boleh”, sepanjang ada konsekuensi-konsekuensi yang disadari, (beberapa yang saya ketahui):

  1. Yang bersangkutan harus melepaskan diri sementara dari rutinitas kerjanya sebagai pendidik, sepanjang waktu perkiraan lamanya pekerjaan berlangsung. (cuti)

  2. Tidak membawa nama institusi pendidikan secara langsung.

  3. Hasil kerjanya, diakui sebatas bentuk Pengabdian Pada Masyarakat, yang tidak signifikan untuk dijadikan nilai peningkatan kualifikasi diri sebagai pendidik (akademisi), meskipun secara individu, pengalamannya bertambah.

  4. Hasil kerja praktisnya, menjadi signifikan bagi peningkatan kualifikasi dirinya pada bidang akademis, apabila dalam proses pekerjaan praktisnya berkarakter penelitian dengan melibatkan lembaga-lembaga penelitian pada wilayah akademis.

Menjadi tidak “benar “, apabila kriteria-kriteria tersebut diabaikan. Bagaimana sebaliknya?


Sering terdapat para praktisi profesional yang memberikan pendidikan dan pengajaran pada institusi-institusi pendidikan profesi. Ini memang sangat dibutuhkan (experiences transfer), terutama bagi pendidikan yang akan menghasilkan kelulusan yang mampu berpraktek profesi nantinya. Berbagai predikat para praktisi yang berada pada wilayah akademis ini, misalnya sebagai dosen tamu (guest lecture) yang memberikan pendidikan atas dasar permintaan lembaga pendidikan secara insidentil, atau berpredikat dosen tidak tetap, artinya memberikan pendidikan secara rutin terprogram, namun tidak menjadi bagian dari struktur organisasi institusional (eksekutif, normatif, pendidik), atau praktisi profesional yang menjadi pendidik dan sekaligus menjadi bagian dari struktur organisasi lembaga pendidikan. Yang terakhir inilah yang sering rancu. Mengapa?

Bila taat dan tunduk pada kaidah-kaidah profesional, salah satu diantaranya adalah..

Seorang profesional harus purna waktu, artinya, total waktunya dicurahkan untuk profesinya, apakah sebagai praktisi ataupun sebagai akademisi, bagaimana cara membagi waktu yang harus purna itu?


Demikianlah, saudara-saudara seprofesi, apa yang telah saya utarakan diatas, mungkin sama sekali tidak berarti, namun terlebih dari itu, betapa saya menginginkan agar organisasi profesi yang kita cintai ini, HDII, dapat menjalankan perannya sebagai wadah yang mampu memberikan pencerahan bagi anggotanya, dengan cara pengelolaan yang bersandar pada norma-norma dan kaidah-kaidah organisasi profesional.


Salam Profesi !!!


bottom of page